Oleh Ramlan BAHASA Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya yang tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi Aceh. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami Kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh, Pidie, Aceh Jeumpa, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat dan pulau Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam seperti Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blangpidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan juga di Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue. Selain itu, di luar provinsi Aceh, penutur bahasa Aceh tersebar di daerah-daerah perantauan, seperti Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia, serta Sydney di Australia Daud, 199730. Mereka membentuk kelompok masyarakat Aceh, seperti Aceh Sepakat, Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Tanah Rencong, dan beberapa kelompok lainnya membentuk komunitas keacehan dalam mempertahankan bahasa Aceh. Bahasa selain alat komunikasi genetik yang hanya ada pada manusia, juga bahasa adalah produk budaya. Bahasa dan budaya adalah dua bentuk hasil pemikiran manusia. Keterkaitan antara bahasa dan budaya, digambarkan oleh Willem von Humboldt seorang filosof Jerman. Menurutnya, language by its very nature represents the spirit and national character of a people bahasa dengan sendirinya sebagai repesentasi/perwujudan semangat alami dan karakter nasional masyarakat Steinberg dkk, 2001 244. Humboldt yakin setiap bahasa di dunia pasti merupakan perwujudan budaya dari masyarakat penuturnya. Jadi, pandangan yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa tertentu akan tercermin atau terwujud dalam bahasanya. Apa yang dikatakan Humboldt didukung oleh pakar linguistics dunia seperti Edward Sapir 1929 dan Alfred Korzybski 1933. Terkait dengan teori tersebut bahasa selain wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya, bahasa adan budaya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, tanpa bahasa atau salah satunya masyarakat atau bahasa tidak bisa terbentuk dan tidak akan ada komunitas yang bernama Aceh. Sering dipertanyakanMenyoal Aceh tidak punya “terima kasih” sering dipertanyakan oleh masyarakat yang bukan penutur asli Aceh. Jika bahasa adalah refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya. Maka bahasa Aceh dibentuk oleh masyarakat pemilik budaya tersebut, yaitu Aceh. Dan, bahasa tersebut sesuai dengan karakter budayanya. Suatu budaya pasti memiliki karakter dalam menghargai orang lain atas bantuan atau benda yang diberikan wajib kita katakan terima kasih. Sebagai contoh dalam bahasa Inggris, ucapan terima kasih, bukan hanya kata thank you saja, tapi juga ada banyak kata terima kasih seperti much obliged, cheers, thanks a lot, thanks very much, thanks a bunch, dan banyak lagi kata ucapan terima kasih yang semisal yang dipakai dalam bahasa inggris namun harus sesuai dengan konteknya apakah itu digunakan dalam situasi formal atau informal. Kata thanks a bunch bisanya diucapkan untuk teman akrab, atau dengan kata lain kata tersebut digunakan saat situasi non formal. Menggunakan kata thanks a bunch harus dilihat konteknya, karena dalam penggunaannya dapat menyindir orang lain, yang tidak membantu. Sebagai contoh, thanks a bunch for mess up my kitchen! Kalimat tersebut berarti “terima kasih sudah mengotori saya”. Sehingga, lebih tepatnya kata-kata tersebut bermaksud menyindir yang digunakan untuk teman akrab. Oleh karena itu, jika masyarakat budaya lain memiliki banyak leksikal kata terima kasih, lalu bagaimana bentuk leksikal ucapan terima kasih dalam bahasa Aceh? Apakah ada banyak bentuk ucapan terima kasih dalam bahasa Aceh? Ini tentu harus mampu diperjelas oleh penutur maupun pakar bahasa di Aceh. Jika tidak, maka ini akan menjadi ganjalan dalam pergaulan dengan masyarakat di luar penutur Aceh. Karena bisa jadi bagi orang yang tidak memahami sejarah dan tamaddun Aceh, mereka akan beranggapan bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang tidak tahu berterima kasih. Dalam sebuah seminar yang berlangsung di Domus Academica Auditorium, Universtas Oslo dan Norwegian Center for Human Rights NCHR, dengan tema The Development of Aceh A Cultural Perspective, Norwegia pada 18 Nopember 2005. Dr Bukhari Daud mengatakan, memang kata “terima kasih” tidak dikenal dalam kebudayaan Aceh. Apabila orang Aceh mendapat pertolongan atau menerima hadiah, mereka akan mengucapkan “Alhamdulillah”. Bagi orang Aceh, rasa terima kasih atas pemberian atau bantuan orang lain tidak diungkapkan melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata. Artinya, jika seseorang berbuat baik kepada orang Aceh, maka orang Aceh akan membalasnya dengan lebih baik lagi. Memang apa yang diungkapkan oleh Bukhari tehadap makna leksikal kata “Alhamdulillah” tersebut bagi masyarakat Aceh adalah mengekspresikan ungkapan “terima kasih” yang sedalam-dalamnya. Tidak hanya itu, namun juga setelah mengucapkan alhamdullilah diiringi dengan doa kepada orang yang memberi bantuan atau pertolongan dengan menambahkan kata-kata seperti; Seumoga gata uroe geubalah le Allah, atau seumoga gata geu tulong le Allah. Hal ini karena memang dalam kehidupan sosial orang Aceh telah melekat ajaran Islam dan menyatu dalam budayanya ini sesuai dengan hadih maja, hukôm ngon adat lagèe zat ngon sifeut. Teurimong geunaseh’Melihat fenomena tersebut, sebenarnya ada banyak frasa atau leksikal kata terima kasih dalam bahasa Aceh, seperti kata teurimong geunaseh, teurimong gaseh, makaseh beh, kajeut beh, dan banyak lagi kata-kata yang semisal yang digunakan masyarakat Aceh dalam mengungkapkan kata terima kasih. Selain kata tersebut ada juga kata lainnya, seperti neupeuidin beh? Kata ini terdapat dalam Kamus Bahasa Aceh yang diartikan sebagai ucapan “terima kasih”. Terjemahan ini diartikan secara pragmatik, yaitu suatu teknik yang menggunakan penekanan pada ketepatan pengalihan pesan dalam bahasa sasaran, aspek bahasa, dan estetika kurang diperhatikan. Jika kata tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan padanan lazimnya berarti “izinkan”. Dengan demikian, terdapat banyak kata terima kasih yang bisa diungkapkan dalam bahasa Aceh, namun yang harus menjadi perhatian saat situasi kapan dan bagaimana ucapan itu diucapkan. Sebagai contoh, ketika ingin mengatakan “terima kasih” kepada tamu undangan yang telah menyempatkan diri memenuhi undangan pada suatu acara. Sebagai contoh leksikal, kata “terima kasih” ganti dengan kata “Alhamdulillah”, maka leksikal tersebut tidak sesuai dengan penempatankatanya. Untuk itu harus dicari kata yang sepadan, seperti teurimong gaseh agar sesuai dengan konteknya. Dengan demikian, ungkapan Alhamdulillah bisa digunakan dalam kontek lain, seperti seseorang memberikan bantuan sosial atau sedekah, maka kata alhamdullah lebih tepat diucapkan oleh sipenerima bantuan tersebut. Ini bukan membantah bahwa kata Alhamdulillah bukan kata terima kasih, karena ada banyak leksikal kata terima kasih yang digunakan oleh ureung Aceh. Oleh karena itu, dengan banyaknya ungkapan frasa terima kasih dalam bahasa Aceh, maka ungkapan frasa “terima kasih” harus ditata dan distandardkan kembali sesuai dengan kamus. Tidak hanya itu, perlu juga diperhatikan standard ejaan, mengingat Aceh memiliki beragam dialek. Ini menjadi tugas penting Pemerintah Aceh, karena bahasa adalah refleksi kebudayaan masyarakat penuturnya. Dan, bahasa menentukan karakter budaya tersebut bagaimana suatu buadaya menghargai orang lain dengan ungkapan “terima kasih”, karena orang tersebut akan merespons dan menilai. Sehingga penutur luar Aceh tidak lagi menuduh bahwa Aceh tidak punya atau tidak tahu berterima kasih. Nah! * Ramlan, Dosen Linguistics Universitas Jabal Ghafur Unigha Glee Gapui-Pidie, dan Dosen Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri UIN Sumatera Utara, Medan. E-mail
Doaterbaik dapat dipanjatkan mulai pagi hari dan sore harinya. 35 Rangkaian Nama Bayi Laki-laki 3 Suku Kata dari Bahasa Yunani, Gagah Bun dengan rahmat-Mu wahai Yang Maha Pengasih di Santri berdoa untuk mengusir Virus Corona di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Foto Suparta/acehkiniMengiring berbagai usaha untuk antisipasi menyebarnya Virus Corona di Aceh, maka doa dibutuhkan untuk memohon kepada Allah menjauhkan wabah itu dari Aceh dan Indonesia, sesuai tuntunan agama. Didasari alasan tersebut, masyarakat Aceh menggelar doa dan zikir bersama, dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Selasa malam 4/2. "Salah satu upaya dan senjata kita adalah doa. Doa adalah senjata orang beriman, doa dapat menolak bala," kata Ustadz Masrul Aidi, Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keueng dalam tausyiahnya. Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menyampaikan sambutan. Foto Suparta/acehkiniPerumpamaan dari muslim yang beriman adalah ikut merasakan apa yang dirasakan mereka yang terdampak dari sebuah kejadian musibah. Salah satu cara yang dapat dilakukan seorang muslim adalah menyampaikan doa dan zikir memohon kepada Allah agar musibah tersebut diangkat Allah dari muka Aidi menyampaikan kisah Saidina Umar bin Khattab. Pada suatu ketika, Umar melakukan perjalanan dinas ke negeri Syam bersama sahabat Rasulullah Muhammad SAW yang lain, Abdurrahman bin Auf. Dalam perjalanan, Umar mendengar Syam sedang dilanda wabah, lantas beliau mengajak rombongan untuk kembali. Abdurrahman bin Auf kemudian menggugat keputusan Umar tersebut, “apa anda hendak lari dari takdir Allah.” Umar menjawab, “Iya. Saya sedang lari dari kehendak Allah kepada kehendak Allah yang lain,” jelas Umar. "Karena itulah kemudian berlaku sikap karantina seperti sekarang. Islam yang pertama mengajarkan karantina," ujar Ustadz Masrul melakukan doa bersama usir Virus Corona di Aceh. Foto Suparta/acehkiniMenurutnya, sikap Pemerintah Aceh menyerukan doa bersama untuk mencegah Virus Corona merupakan sebuah kepedulian layaknya orang tua kepada anak yang menghendaki anaknya segera pulang dan bisa segera untuk dipeluk. Namun demikian, agama melarang mereka yang baru keluar dari daerah yang terkena wabah untuk berbaur dengan warga dari tempat lain. Salah satu tuntunan agama, adalah mengkarantina mereka hingga dipastikan mereka bebas dari segala wabah Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengatakan pelaksanaan zikir dan doa bersama digelar untuk mendoakan agar negeri ini dijauhkan dari wabah penyakit, serta mendoakan ratusan Warga Negara Indonesia yang baru dipulangkan dari China. Juga bentuk dukungan spiritual masyarakat Aceh kepada masyarakat dunia, Indonesia dan khususnya mahasiswa Aceh di China. Menurutnya, banyak mahasiswa Aceh yang berada di Wuhan, China saat merebaknya Virus Corona. Saat ini, wabah tersebut telah menewaskan lebih dari 400 jiwa. Banyak negara telah melakukan berbagai upaya pencegahan, agar virus tersebut tidak terinfeksi secara masif. “Saking berbahayanya virus ini, badan kesehatan dunia WHO telah mengumumkan situasi darurat kesehatan global,” katanya. Nova mengklaim, Aceh menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memberikan respons cepat terhadap dampak yang muncul dari Virus Corona. "Respons kita sangat beralasan, banyak warga Aceh yang sedang menetap di beberapa kota di China dan sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang sedang menuntut ilmu," katanya. Doa bersama di Masjid Raya Baiturrahman. Foto Suparta/acehkiniSejak virus itu teridentifikasi, Pemerintah Aceh telah melakukan penanganan serius terutama bagi warga dan mahasiswa yang masih berada di Wuhan dan beberapa kota lainnya di China maupun yang sudah kembali ke tanah air. Selain membuka posko informasi di Banda Aceh dan Jakarta, juga menetapkan rumah sakit rujukan. Sementara bagi mahasiswa yang masih berada di China, dikirimkan biaya logistik, juga memfasilitasi kepulangan mereka. Doa bersama yang dilakukan di Aceh, menjadi sandaran vertikal dalam membangun kesiagaan bencana tersebut, dengan meminta ampun dan bertaubat kepada Allah atas dosa dan kesalahan. "Hal itu adalah jalan satu-satunya agar Allah memberikan keselamatan dan menurunkan keberkahan kepada kita," kata yang digelar bakda Isya, dihadiri ratusan warga. Zikir dan doa bersama dipimpin langsung Pimpinan Majelis Zikir Mujiburrahman, Tgk. Asy’ari. [] Jemaah perempuan dalam doa bersama usir Virus Corona. Foto Suparta/acehkiniDoa dan zikir dipimpin oleh Tgk Asy'ari. Foto Suparta/acehkiniKATAPENGANTAR Segala puji bagi Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, yang telah memberi rahmat serta hidayahNya kepada kita sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini. Layaknya Indonesia yang memiliki bahasa persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam
gyg2gu.